Terkait Dugaan Polemik Gelar Datuak di Kumpulan, Pasaman, Riyan Permana Putra Harap Tidak Dibawa ke Ranah Pidana

Pasaman — Menanggapi dugaan polemik gelar adat Datuak yang terjadi di Kumpulan, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman, sebagaimana dilansir dari Kontras Independen TV, praktisi hukum dan Ketua Perhimpunan Advokat Nusantara (PAN) Raya Sumatera Barat, Riyan Permana Putra, yang merupakan anak nagari Kumpulan, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman menilai bahwa persoalan ini harus diselesaikan melalui jalur adat yang sah dan tertib secara hukum positif, tanpa perlu ke jalur pidana karna pidana adalah memiliki azas ultimum remedium.

Menurut Riyan, pengangkatan dan pengesahan gelar adat merupakan ranah hukum adat yang diakui oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Lebih lanjut, menurut Riyan dasar hukum yang relevan antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 103 huruf (a) dan (b), yang memberi ruang bagi desa adat/nagari untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat adat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat.

2. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari, yang mengatur kewenangan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam menyelesaikan sengketa adat dan mengesahkan gelar penghulu.

3. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, yang menegaskan posisi ninik mamak sebagai pemangku adat dan pengelola nilai-nilai tradisional, termasuk dalam pengangkatan gelar adat.

Riyan menambahkan bahwa sengketa gelar adat sebaiknya tidak dibawa ke ranah pidana, karena akan menurunkan martabat adat itu sendiri. “Penyelesaian terbaik adalah musyawarah melalui KAN, LKAAM, dan pemerintah nagari, karena lembaga adat memiliki legitimasi sosial dan kultural untuk memutuskan keabsahan gelar,” ujarnya.

Sebagai rujukan hukum, Riyan menyebut Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 82 K/TUN/2005, yang menegaskan bahwa lembaga adat memiliki kewenangan otonom dalam menentukan struktur dan kepemimpinan adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007 juga memperkuat pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat sebagai subjek hukum yang sah.

“Gelar adat bukan sekadar simbol kehormatan, tetapi amanah sosial yang diikat oleh tambo dan musyawarah kaum. Jika prosedur adat diabaikan, maka bukan hanya legitimasi yang hilang, tetapi juga marwah adat Minangkabau,” tegas Riyan.

Riyan menutup dengan seruan agar seluruh pihak di Bonjol kembali pada prinsip bajanjang naiak, batanggo turun—mengutamakan mufakat, mengedepankan kesantunan, dan menjaga warisan nilai-nilai Minangkabau dalam bingkai hukum adat dan hukum negara.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *