Terkait Dugaan Pencurian Arus Listrik di Kantor Walinagari Koto Rantang, Riyan Permana Putra Harap PLN Transparan dan Patuhi Prosedur Hukum
Bukittinggi — Menanggapi pemberitaan Teras Nagari News terkait tuduhan dugaan pencurian arus listrik terhadap Kantor Wali Nagari Koto Rantang, praktisi hukum Riyan Permana Putra menilai bahwa langkah dan metode pemeriksaan yang dilakukan oleh tim Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL) PLN harus dilaksanakan secara profesional, transparan, dan berlandaskan hukum yang jelas, bukan dengan pendekatan yang diduga intimidatif atau diduga adanya tawar-menawar denda di lapangan.
“Penertiban pemakaian tenaga listrik memang diatur dalam ketentuan hukum, tetapi pelaksanaannya tidak boleh melanggar asas-asas pelayanan publik dan prinsip due process of law. Tuduhan terhadap instansi pemerintahan seperti kantor wali nagari harus disertai bukti teknis yang sah dan berita acara resmi,” jelas Riyan.
Menurut Riyan, PLN sebagai badan usaha milik negara (BUMN) wajib menjunjung tinggi asas transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e UU Ketenagalistrikan ditegaskan bahwa konsumen berhak memperoleh pelayanan tenaga listrik yang baik, sedangkan Pasal 54 UU Pelayanan Publik menegaskan setiap penyelenggara layanan publik dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang atau merugikan pengguna layanan.
“Jika benar terdapat tawar-menawar denda sebagaimana disebut dalam berita, hal itu merupakan pelanggaran etik dan bisa berpotensi masuk kategori penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” tegas Riyan.
Riyan juga mengingatkan jangan sampai ada tindakan maladministrasi dari PLN sebagai pelayan masyarakat. Ia mendorong agar Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Barat ikut memantau kasus ini.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa setiap pemeriksaan P2TL harus memenuhi standar operasional prosedur (SOP) termasuk:
1. Surat tugas resmi bagi petugas P2TL,
2. Pemberitahuan tertulis sebelum pemeriksaan,
3. Berita acara pemeriksaan yang ditandatangani kedua pihak, dan
4. Bukti teknis yang terukur serta dapat diuji ulang.
“Negara hukum tidak boleh membiarkan lembaga pelayan publik bertindak layaknya aparat penegak hukum tanpa dasar. PLN harus berani mengoreksi jika ada oknum di lapangan yang mencederai kepercayaan publik,” tambahnya.
Sebagai penutup, Riyan berharap PLN UP3 Bukittinggi segera memberikan klarifikasi terbuka kepada publik dan memastikan bahwa penegakan aturan P2TL dilakukan dengan menjunjung nilai kemanusiaan, kepastian hukum, dan keadilan sosial.
“Jangan sampai masyarakat yang taat aturan justru diperlakukan sebagai pelanggar. Kepercayaan publik terhadap PLN hanya akan tumbuh melalui kejujuran, bukan ketakutan,” pungkasnya.(*)

